Kabar dari Rembang (Sendhon Waton)



Menghadiri sebuah acara obrolan adalah kesukaan saya. Entah itu obrolan berkualitas, obrolan tak berkualitas, omong kodok, hingga omongan percil saya suka, asalkan ada waktu luang atau waktu mirunggan. Seperti kemarin tanggal 26 Maret 2017 saya datang ke sebuah acara obrolan yang diadakan oleh Sanggar Cakraningrat di Rembang. Sanggar ini diprakarsai oleh seorang dalang muda berbakat yang baru naik daun, yaitu Ki Sigid Ariyanto.

Sendhon Waton tajuk acaranya yang baru diawali di malam Senin Legi itu, rencana ke depan akan diadakan setiap 35 (selapan) hari sekali. Acara Sendhon Waton ini adalah acara sarasehan obrolan yang bersifat keagamaan yang disela dengan berbagai pertunjukan, entah itu tari, entah itu music, entah itu teater. Sendhon Waton sendiri adalah merupakan cabang maiyah yang berada di Rembang. Maiyah adalah sebuah obrolan yang telah lama di rintis oleh Cak Nun. Ada banyak acara serupa, seperti kalau di Jakarta bernama Kenduri Cinta, di Jogja Macapat Safaat, di Semarang Gambang Safaat, di Surabaya Bang-bang Wetan. Berbedanya Sendhon Waton berusaha menyandingkan antara ajaran jawa dan ajaran Islam, dan kedepanya ingin mengungkap bahwa antara ajaran jawa dan ajaran islam itu tidak jauh berbeda.

Malam itu temanya adalah Islam Rahmatan atawa Laknatan lil’alamin. Bagi saya pribadi tema ini sangat menggelitik dan menggugah rasa penasaran, ingin tahu apa saja yang akan di kabarkan dan diobrolkan dalam maiyahan tersebut.  Apalagi mengetahui nara sumber yang jadi pembicara di Sendhon Waton, diantaranya adalah Habib Anis dari Pati, KH. Muzammil dari Yogyakarta, Mas Harianto mewakili Maiyah Nusantara, Mas Agus Wibowo, Cak Rud dari Blora dan tuan rumah sendiri Ki Sigid Ariyanto. Dan yang aku suka acara malam itu dimeriahkan oleh tampilan Teater Lingkar dari Semarang yang membawakan lakon “TUK”. Grup teater kawakan yang usianya sudah kepala 3 dan hamper kepala 4 ini di pimpin oleh Mas Ton dari Semarang, yang merupakan seorang budayawan dan penggiat seni tradisi, seperti seni wayang, teater tradisi dan lain sebagainya.

Sesuai dengan harapan, acara Teater Lingkar telah membawakan lakon Tuk dengan sangat bagus, dan membawa emosional ke banyak orang, termasuk para nara sumber yang malam itu mengisi acara. Sehingga pembicaraan terbingkai dalam sebuah ranah yaitu berbicara tentang Tuk. Cerita sederhana dan merakyat ini secara garis besar bercerita tentang kehidupan di sekitar Magersaren (pinggiran kraton), sangat menyentuh dan sangat fulgar dan menceritakan kehidupan realitas orang-orang bawah, yang tidak punya tempat, dengan segala problematika hidup, seperti hutang, selingkuh, penggusuran dan lain sebagainya.

Cerita tuk di bawa masuk oleh Kang Fahmi yang menjadi moderator malam itu, dengan peryataan bahwa sudah sangat cukup dijadikan mukaddimah sebagai pengantar diskusi dan sesuai dengan tema yang diangkat. Mas harianto menterjemahkan pertunjukan tersebut, bahwa saat air memang sudah keruh. Setan dengan halusnya sudah mengubah paradigma dengan menggunakan agama sebagai alat kezholiman. Dilanjutkan Agus Wibowo yang menyampaikan pendapatnya, bahwa Setan itu ada dalam diri kita. KH. Muzamil menambahkan pendapatnya, bahwa konflik fisik itu berawal dari konflik pikiran individu.

Obrolan semakin ramai dan meriah, meskipun semakin malam para hadirin juga semakin berkurang, namun tak mematahkan semangat saya untuk terus menikmati obrolan tersebut. Terus bergulir satu persatu opini mencuat ke atas, dan semakin mengkerucut dan memanas. Secara pribadi saya memang kurang memahami keberadaan Islam itu rahmatan atau laknatan, tapi Habib Anis dengan tegas menjelaskan bahwa Rahmatan Lil’alamin itu tercermin dari perilaku Nabi Muhammad yang terpuji. Islam itu sendiri sudah Kaffah sejak awal mula. Islam tidak mungkin melaknati Islam itu sendiri. Berarti yang laknat adalah orang-orang Islam yang tidak mengikuti Nabi dan tidak melaksanakan ajaran Islam dengan benar.

Sementara si Tuan Rumah Ki Sigid Ariyanto telah memberikan solusi juga, bahwa kita harus kembali pada ajaran para leluhur kita yang sarat dengan nilai. Di Jawa juga sudah ada ajaran memayu Hayuning jiwa, memayu hayuning keluarga, memayu hayuning bangsa dan memayu hayuning Bawana. Semua itu adalah tahapan laku yang harus diprioritaskan pada tiap individu jika inginkan rahmatan lil alamin. Pendapat ini secara tidak langsung telah mensinkronisasi diantara ajaran Islam dan ajaran Jawa. Sebagaimana orang Jawa saya setuju, meskipun saya belum begitu paham akan ajaran jawa. Semoga yang sedikit ini bermanfaat, beragamalah dengan sungguh-sungguh dan jangan mudah di provokasi, jangan mudah kena penyakit kagetan, cerna semua informasi, agar terlihat dengan jelas mana yang hitam dan mana yang putih.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk Gabung

Total Pengunjung

Penunjung