Hal yang cukup 'mencengangkan' sekaligus juga menggembirakan saat
Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes),
Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unnes, dan Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) Jateng akan menggelar acara kompetisi bertajuk “Sinden Idol 2012”.
Pendaftaran dan penjaringannya dibuka pada 15 Oktober-15 November 2012
mendatang. Sebuah ajang pencarian sinden-sinden berbakat di Jawa
Tengah. Tak main-main hadiahnya sangat menggiurkan. Untuk pemenang
pertama mendapatkan 20 juta, kedua 15 juta dan ketiga 10 juta.
Sinden sendiri berarti vokal tunggal yang (kebanyakan) dibawakan oleh
wanita. Namun, agak berbeda pengertian sinden dengan vokalis dalam
musik pada umumnya. Sinden bukanlah vokalis. Vokalis adalah orang yang
bernyanyi dan diiringi dengan instrumen musik. Vokalis menjadi pusat
perhatian karena tema dan pesan utama tertampung dalam balutan
lirik-liriknya. Dengan demikian, vokalis menjadi acuan dalam sebuah
pertunjukan musik. Sementara pengertian sinden tidak demikian. Kedudukan
sinden setara dengan instrumen gamelan lain. Tidak mencoba diiringi
maupun mengiringi. Singkatnya, sinden juga dianggap sebagai satu
kesatuan instrumen gamelan. Agar terwujudnya capaian rasa gending yang
ideal, maka semua instrumen harus saling bersinergi antara satu dengan
yang lain, tak terkecuali sinden.
Warna Lain
Susan Pratt Walton dalam disertasinya yang berjudul “Heavenly Nymphs
and Earthy Delights: Javanese Female Singers, Their Music and Their
Lives” (1996) dengan lugas menyatakan, walaupun suara sinden lebih
terdengar nyaring daripada instrumen gamelan lainnya tapi bukan berarti
ia menjadi panutan dan dasar acuan. Karena dalam hampir keutuhan
sajian, sinden tidak berperan sebagai pemimpin bagi keseluruhan
ansambel layaknya vokalis dalam orkestra musik Barat. Namun, sinden
menjadi begitu istimewa karena boleh dikata ialah satu-satunya yang
memberi ‘warna lain’ dalam pertunjukan karawitan. Bukan karena apa yang
disajikan, namun oleh siapa yang melagukannya. Membicarakan sinden
berarti membicarakan gender –jenis kelamin-. Ya! Sinden adalah wanita
yang kadang memberi guratan nuansa lain dalam ingar-bingar kuasa
laki-laki atas gamelan.
Bukan satu hal yang aneh, fenomena tergusurnya wanita dalam jagat
“musik tradisi” kita sudah lama diberlangsungkan. Kuasa laki-laki masih
sangat dominan. Musik-musik tradisi Nusantara dan khususnya Jawa
menempatkan supremasinya sebagai satu dari sekian banyak olah kebudayaan
yang memiliki wajah dan jiwa kekerasan kalau bukannya kelelakian.
Wanita hanya menjadi simbol yang mengguratkan aura feminisitas sehingga
kehadirannya kadang dianggap kurang layak jika menghuni ruang-ruang
dengan imaji yang maskulin. Wanita mengalami kebangkrutan eksistensi
dalam jagat musik tradisi di Jawa. Adanya sinden seolah memberi oasis
yang menyegarkan bagi denyut hidup wanita dalam musik tradisi terutama
karawitan Jawa.
Apa yang unik dari (pe)sinden? Pertama, lihatlah posisi duduknya, mereka bersimpuh dalam balutan kain jarik
dengan posisi punggung yang tegak. Tak cukup dengan hanya hitungan
menit, namun jam. Bahkan semalam suntuk mereka harus duduk dengan posisi
demikian untuk menemani sang dalang mempergelarkan pertunjukan wayang
kulit. Adakalanya terjadi interaksi yang harmonis antara sinden dan
dalang. Sinden tak dibekali ruang untuk berolah tubuh layaknya
penyanyi-penyanyi lain di abad ini. Kuasa sinden tak dilihat dalam
domain fisiknya, namun olah dan kemerduan vokalnya. Jangan heran
kemudian jika sinden-sinden idola dari masa ke masa bertubuh bongsor
namun memiliki dentuman suara yang mampu memikat hati kaum adam.
Era Narto Sabdo -dalang kondang-, banyak mengubah citra sinden di mata
masyarakat. Sinden, tidak lagi harus duduk di belakang dalang. Sinden
kemudian berada di samping kanan sang dalang, namun bertolak belakang
arah hadap. Sinden secara langsung menjadi etalase bagi mata penonton.
Dengan arah hadap yang demikian, mengharuskan para pesinden untuk
tampil cantik dan menawan. Era suara kemudian harus diimbangi dengan
citra visual. Walhasil, banyak sinden yang kemudian merawat tubuhnya
untuk tampil ‘seseksi’ mungkin dengan dandanan yang menor.
Kedua, seorang sinden harus memiliki penguasaan bekal musikal yang
mumpuni. Pesinden berada dalam pusaran tafsir dan imajinasi musikal
tinggi. Karenanya, tak semua vokalis wanita mampu menjadi pesinden. Ia
harus sadar betul cara mengornamentasi sebuah gending dengan tafsir teks
(cakepan), irama, rasa, tempo dan tentu saja garap. Sinden
yang handal berarti telah qatam akan semua itu. Seorang sinden diuji
bukan dari kualitas suara semata, namun kesatuan yang terjalin dengan
gending yang dibawakan. Oleh karena itu, pesinden berbeda dengan
penembang. Disebut sinden karena kehadirannya yang menyertai sebuah
gending walaupun teks vokal yang disajikan adakalanya berupa tembang.
Sementara penembang bisa melagukan vokal secara mandiri tanpa adanya
(iringan) gending gamelan. Singkatnya, pesinden sudah pasti penembang,
namun penembang bukan berarti seorang pesinden. Hal ini wajib diketahui
agar keduanya tidak saling silang pengertian.
Kompetisi
Sinden Idol 2012 seolah berusaha memberikan sejumlah tawaran alternatif
akan pemikiran dan generasi penerus sinden di Jawa pada umumnya.
Diharapkan, kompetisi ini mampu memunculkan dan sekaligus mencetak
generasi baru sinden yang bermutu. Mengembalikan kodrat sinden dalam
takaran penilaian auditif (suara) bukan lagi glamournya visual yang
selama ini banyak menghiasi wajah pertunjukan wayang kulit muthakir.
Namun sayang, ada beberapa catatan yang kurang diperhatikan dalam
kompetisi itu.
Dari press release di media serta informasi yang didapat
dari website Unnes, tak ada batasan usia bagi peserta. Hal ini
mengingatkan jenis kompetisi serupa yang beberapa waktu lalu (September)
diberlangsungkan di ISI Yogyakarta dalam mencari sosok pemain
-instrumen- gender berbakat. Tak ada batasan usia. Peserta terdiri dari
para empu gender di Jawa Tengah dan Yogya. Bahkan tim penilai konon
adalah anak didiknya, kalah senior. Akibatnya, hampir semua pemenang
adalah generasi penggender yang sudah dikenal publik. Tak satupun
peserta muda yang mendapatkan nomor di ajang itu.
Bisa jadi pula, banyak pesinden yang sudah mahsyur dan ternama akan
mengikuti lomba Sinden Idol 2012. Jika demikian ambisi dalam mencari
bibit-bibit sinden baru akan mengalami kebuntuan. Karena tak diragukan
lagi, para senior sinden tersebut telah teruji di mata masyarakat,
sehingga menjadi tabu jika dipersaingan itu ia kalah. Di sisi lain,
batasan wilayah sindenan juga tidak dijelaskan secara spesifik, hanya
berkisar pada gaya Jawa Tengahan. Padahal kita tahu, sindenan banyak
variasi dan gayanya. Ada versi Surakarta, Semarangan, Sragenan, bahkan
Banyumas dan Tegal. Suraji dalam tesisnya yang berjudul “Sindenan Gaya
Surakarta” (2005) mencirikan dengan spesifik gaya sindenan Surakarta
dibanding dengan lainnya. Bahkan di wilayah Surakarta sendiri banyak
ragam dan versi yang tidak bisa dikomparasi baik buruk antar satu dengan
lainnya.
Pertanyaannya kemudian bagaimana jika peserta Sinden Idol 2012
membawakan sinden dengan versi yang beraneka ragam tersebut? Satu sinden
memiliki citra penilaian yang berbeda. Bisa jadi, apa yang dianggap
bagus bagi gaya A adalah sepele di gaya B, atau sebaliknya. Sampai di
sini, batasan dan kriteria penilaian harus lebih dapat diperjelas. Hal
itu menjadi “pekerjaan rumah” bagi panitia. Walaupun demikian, Sinden
Idol 2012 patut untuk diapresiasi sebagai sebuah langkah kongkrit
institusi, terkait pembelaan terhadap kesenian tradisi. Karena bukan
rahasia lagi, denyut hidup kesenian tradisi dewasa ini semakin tak mampu
menunjukkan detaknya. Tertimbun dalam tumpukan jerami seni-seni
populis yang glamour dan gemerlap.
Ditulis oleh Aris Setiawan (Dosen ISI Surakarta), pernah diterbitkan di harian Suara Merdeka, 3 November 2012.
Gambar dari browsing di Mbah Google dengan kata kunci "Sinden".
0 komentar:
Posting Komentar