Sesaji berasal dari kata saji.
Sajian, sesajian, maknanya sama dengan hidangan. Menyajikan berarti
menghidangkan. Sesaji kata benda bersifat tunggal, sedangkan sesajian
bermakna jamak atau plural. Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan.
Secara umum sesaji dibuat sebagai wujud sedekah. Saya ulangi sekali
lagi, sedekah. Sedekah yang dibagikan kepada orang lain. Sedekah
dilakukan tidak terbatas pada antar sesama manusia, melainkan bisa
dilakukan kepada bangsa tumbuhan, binatang, bahkan makhluk halus
sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni bentuk nyata
kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni
jagad raya ini. Pemahaman ini sangat penting digarisbawahi untuk
membebaskan diri dari cengkeraman opini “sampah” yang telah mengotori
otak dan hati kita.
Secara garis besar terdapat tiga macam sesaji yang dibedakan menurut tujuan membuatnya.
Bancakan
Bancakan termasuk sesaji ditujukan untuk sedekah terutama kepada sesama manusia. Bancakan dibuat untuk dibagi-bagikan kemudian dimakan oleh orang. Untuk itu bancakan
biasanya dibuat dengan aneka rasa yang enak di lidah dan berupa
hidangan khusus yang menimbulkan selera makan. Untuk itu membuat
bancakan tidak boleh sembarangan melainkan harus dibuat senikmat mungkin
agar orang-orang yang kita sedekahi turut puas dan bahagia. Prinsipnya
sederhana saja yakni, kalau mau memberikan sedekah, maka berikan
sedekah yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Jangan pernah berikan
“sampah” pada orang lain, yakni apa yang kita sendiri sudah enggan
memakannya.
Bancakan dibuat oleh seseorang,
kelompok, grup, atau bahkan institusi dengan berbagai tujuan misalnya
dalam rangka ritual syukuran, ritual selamatan, atau ritual doa
permohonan. Orang yang memahami kebijaksanaan hidup, saat
mengekspresikan rasa sukur tidak akan cukup hanya dengan ucapan manis di
mulut saja, tetapi mewujudkan rasa sukur itu dalam perbuatan nyata
misalnya sedekah. Doa mohon keselamatan, doa permohonan untuk
mewujudkan suatu tujuan baik, seyogyanya dibuka dengan sedekah. Karena
sedekah merupakan cara terbaik untuk memantaskan diri kita menjadi orang
yang layak menerima anugrah.
Sajèn Bebono
Sajen merupakan bahasa Jawa dari sesaji. Tetapi istilah sajen lebih familiar untuk menyebut sesaji yang bukan berupa bancakan. Bentuk sajen
biasanya tidak selalu berupa hidangan yang enak dimakan. Bahkan kadang
berupa bahan-bahan yang tidak enak dan tidak mungkin untuk dikonsumsi
oleh manusia. Misalnya minyak wangi, kemenyan, dupa, kunyit mentah,
dlingo dan bengle dll. Sajen dalam bahasa kraton lebih familiar disebut sebagai bebono
atau pengorbanan atau kurban. Akan tetapi Anda jangan membayangkan
“pengorbanan” atau “kurban” berupa tumbal setan yang menyeramkan. Anda
jangan membiasakan diri mengikuti paham “sampah” yang sering ditebarkan
melalui sinetron dan film-film murahan yang sering beredar di bioskop
dan ditayangkan televisi. Seringkali mereka membuat opini yang salah
kaprah tapi tidak menyadari hal itu telah meracuni otak masyarakat
Indonesia. Keadaan ini sungguh memprihatinkan sekali.
Sama dengan bancakan, bebono
juga merupakan sedekah. Tujuannya adalah untuk bersedekah kepada seluruh
makhluk sesama penghuni planet bumi. Sebagai manusia yang arif dan
bijaksana, manusia yang berkesadaran kosmologis, akan menyadari bahwa
hidup di dunia ini selalu berdampingan dengan beragam makhluk hidup,
yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Manusia juga hidup
menumpang di antara benda-benda tidak hidup yang ada di planet bumi ini.
Dalam filsafat hidup Jawa, berpijak dari fakta-fakta itu menyadarkan
kita bahwa salah satu tujuan utama manusia hidup di planet bumi adalah
untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi di
antara makhluk hidup yang ada. Baik kepada antar sesama manusia maupun
terhadap hewan, tumbuhan, dan makhluk halus. Dalam filsafat hidup Jawa,
ditanamkan suatu kesadaran kosmologis di mana kita harus menghargai,
menghormati, dan memanfaatkan seluruh benda hidup maupun benda-benda
tidak hidup dengan cara adil, bijaksana serta penuh kasih sayang. Pada
intinya apa maksud dan tujuan dari seseorang membuat sesaji bancakan, sajen atau bebono, tidak lain untuk mewujudkan rasa menghormati, menghargai, rasa syukur dan sebagai expresi sikap welas asih
secara nyata kepada seluruh makhluk penghuni planet bumi. Dapat
dianalogikan, seperti apa yang dilakukan orang tua yang menyayangi
anak-anak tentu mereka akan bersedia mengorbankan tenaga, pikiran, beaya
dan waktu untuk membahagiakan anak-anak mereka.
Orang tua telah
memberikan bebono kepada anak-anaknya. Dalam konteks bebono,
pengorbanan atau sedekah sebagai expresi kasih sayang itu lebih
difokuskan kepada bangsa halus. Bangsa halus tidak boleh diperlakukan
semena-mena. Mereka juga makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, untuk
mengisi jagad raya ini dalam fungsinya masing-masing sesuai hukum alam
(kodrat) yang berlaku. Bangsa makhluk halus diciptakan bukan untuk
dianiaya oleh bangsa manusia, melainkan untuk berperan serta dalam tata
hukum keseimbangan alam. Sudah selayaknya bangsa manusia yang kata orang
sebagai makhluk paling sempurna, maka sempurnakan pula perilaku yang
adil dan bijaksana sebagai bagian dari bangsa makhluk hidup yang beradab
dan santun kepada alam semesta dan seluruh penghuninya.
Sajèn Pisungsung
Pisungsung artinya persembahan. Dalam konteks ini pisungsung lebih difokuskan kepada eksistensi supernatural being, misalnya ancesters atau ancient spirit
(leluhur) yakni orang-orang yang telah hidup di dimensi yang abadi.
Dalam posting saya terdahulu seringkali saya sampaikan bahwa salah satu
kunci sukses kehidupan kita adalah seberapa besar bakti kita kepada
kedua orang tua, dan para leluhur kita, hingga leluhur perintis bangsa
besar ini. Nah, pisungsung merupakan wujud ekspresi nyata bakti kita kepada para leluhur berupa suatu persembahan. Pisungsung tidak terbatas benda fisik. Bisa juga berupa persembahan melalui lisan misalnya doa, ucapan terimakasih, ucapan sembah pangabekti, hingga persembahan berupa tindakan nyata misalnya ziarah kubur, nyekar, ritual menghaturkan aneka ragam uborampe untuk pisungsung,
membersihkan pusara dst. Kita perlu mengenang para leluhur, selain
sebagai ekspresi rasa terimakasih dan hormat serta berusaha mengambil
sisi positif kehidupan masa lampau orang-orang yang telah mendahului
kita sebagai suri tauladan. Pisungsung lazimnya pula berupa
minuman dan makanan, benda-benda seperti bunga, minyak wangi yang
dulunya disukai oleh orang-orang yang mendahului kita. Atau sesuai
tradisi yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat
terhubung tali rasa sih-katresnan antara orang yang memberikan pisungsung dengan leluhur.
Sampai di sini, mudah-mudahan para
pembaca yang budiman dapat memahami dengan bijaksana. Dengan memahami
nilai luhur filsafat dalam sesaji seperti uraian di atas, diharapkan
bagi siapapun yang sedang membuat dan berbagi sesaji dapat menanamkan
pola pikir (mind set) yang tepat pula. Sehingga sesaji menjadi
lebih besar nilai filsafatnya, dan lebih efektif untuk menciptakan
perubahan positif dalam kehidupan kita. Junk opinion telah merusak nilai luhur yang terkandung dalam ritual hatur sesaji. Bahkan membeloknya esensi tujuannya. Bahkan junk opinion
telah merusak pola pikir serta mengotori kalbu pelakunya. Jika sudah
rusak pola pikirnya, kemudian orang menjadikannya sebagai alasan untuk
memojokkan dan menjelekkan tradisi hatur sesaji. Bahkan kemudian
melarangnya dengan cara menakut-nakutinya sebagai tindakan berdosa.
Entah hal ini akibat kebodohan masyarakat atau memang sebuah usaha
sistematis melakukan cultural and ethnic cleansing.
Opini Yang Dibelokkan
Untuk membantu pemahaman, saya akan
berikan beberapa contoh opini “sampah” mengenai sesaji. Yakni
pandangan-pandangan, penilaian, perspektif yang salah kaprah menyoal
sesaji.
- Sesaji dianggap sebagai bentuk “suap” atau cara untuk merayu mahluk halus, setan dsb agar bersedia membantu manusia. Ini pandangan salah yang paling popular.
- Pandangan salah berikutnya adalah, menganggap manusia yang membuat sesaji sebagai orang yang tunduk-patuh, takluk, bahkan menyembah makhluk halus. Pandangan ini lebih ngawur, makin menjauhkan dari nilai esensial yang sesungguhnya dari sesaji itu sendiri.
- Pandangan berikutnya lebih parah dan lebih ngawur. Yakni anggapan bahwa memberikan sajen akan membuat makhluk halus menjadi ketagihan dan akan menganggu jika orang tidak lagi memberikan sajen.
Baiklah para pembaca yang budiman. Saya
tetap menghargai jika ada pembaca yang bersikukuh berpendapat seperti
poin-poin di atas. Tidaklah heran jika fakta-fakta yang saya saksikan di
atas juga dianggap sebagai opini “sampah”. Itu disebabkan karena
sulitnya membuktikan fakta gaib dengan kesaksian mata kepala sendiri.
Tetapi anda juga tidak layak untuk secara subyektif merasa bahwa opini
anda paling benar dan factual.
Bagi saya pribadi dan sejauh yang bisa
saya saksikan sendiri, kenyataan di atas merupakan suatu fakta yang
jelas dan apa adanya. Walau apa yang saya saksikan sulit untuk
disaksikan pula oleh orang lain, tetapi setidaknya apa yang saya
sampaikan dapat memenuhi kaidah logika atau penalaran yang sehat.
Sesaji Sebagai Harmonisasi Dengan Alam
Sub judul di atas merupakan falsafah Jawa
tentang prinsip dasar yang melandasi tindakan seseorang untuk
memberikan sesaji atau sedekah. Tetapi akibat kurangnya pemahaman
tentang sesaji, hal itu menimbulkan stigma, yakni penilaian negative dan
pemahaman yang melenceng jauh dari prinsip dasar, pengertian, maksud
dan tujuan sesaji itu sendiri. Kadang muncul stigma sangat tendensius
yang menghakimi tindakan memberikan sesaji. Padahal dalam upacara sesaji
sesungguhnya memiliki nilai luhur kearifan local masyarakat Indonesia.
Tindakan destruktif, brutal dan tidak bertanggungjawab kadang dilakukan
sekelompok orang dengan mengatasnamakan pembelaan Tuhan. Itu terjadi
karena orang tidak tahu jika dirinya sedang tidak tahu, tidak sadar jika
dirinya sedang terbenam dalam ketidaksadaran yang sangat membius.
Seperti telah saya singgung di atas bahwa
sesaji merupakan usaha untuk berharmoni dengan hukum alam. Penjelasan
singkatnya begini, seseorang memberikan sedekah kepada beragam kehidupan
yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedekah ini merupakan artikulasi
nyata dari kesadaran manusia untuk saling menjaga kelestarian alam,
menjaga keharmonisan dan kelangsungan ekosistem dan lingkungan hidup.
Rasa welas asih menjadi pondasi melakukan sedekah sesaji. Itu disebut pula urip (hidup) yang murup
(menyala), atau hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan di planet
bumi. Jangankan menyakiti apalagi membunuh orang lain yang beda
pendapat, mengumpat dan meledek pun tidak dilakukannya. Perbuatan
demikian itu jelas merupakan tindakan melawan hukum alam. Cepat atau
lambat pasti akan tergulung oleh mekanisme hukum keadilan alam.
Tingkatan Sesaji
Sesaji atau sedekah jika mengacu pada
kualitasnya, sifatnya bertingkat-tingkat. Dari sesaji yang levelnya
paling sederhana (rendah) hingga paling lengkap (tinggi). Dengan
demikian, sesaji bukanlah sesuatu yang memberatkan. Tetapi dapat
disesuaikan menurut kemampuan masing-masing orang. Orang mau pilih yang
sederhana dan ringan atau yang lengkap, yang penting setiap bersedekah
atau bersesaji harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Jika terpaksa jangan
melakukannya. Efeknya pun berbeda tergantung seberapa tinggi kualitas
sesaji atau sedekah yang diberikan.
Sesaji sebagai bentuk
kebaikan pasti menimbulkan efek getaran energy positif yang memancar ke
segala penjuru. Besaran energy ini ditentukan seberapa besar kualitas
sesaji yang diberikan. Energy positif akan beresonansi kemudian
membangkitkan energy positif yang berlipat ganda, dan sebaliknya energy
negative akan meresonansi kemudian menimbulkan energy negative yang
berlipat ganda pula. Oleh sebab itu bagi siapapun yang akan memberikan
sesaji hendaknya niat dan pikiran sudah disetel secara tepat semenjak
proses membuat sesaji dimulai. Di situlah saat paling menentukan apakah
sesajinya akan menghasilkan respon positif atau malah sebaliknya.
Kuncinya terletak pada pengorbanan, persembahan, dan ketulusan yang
ditujukan kepada orang-orang, mahluk hidup dan lingkungan yang kita
hormati dan sayangi.
Demikian tadi uraian
singkat mengenai sesaji. Semoga tulisan ini dapat membantu para pembaca
yang budiman untuk memahami seluk-beluk sesaji secara proporsional dan
bijaksana.
Rahayu sagung titah dumadi
Artikel ini hanyalah hasil copas dari blog kawan, silahkan berkunjung ke tulisan aslinnya yang berjudul: Mengungkap Rahasia Sesaji (Sajen).
Foto ilustrasi adalah koleksi pribadi dan sebagian di ambil dari google dengan kata kunci SESAJI JAWA.
0 komentar:
Posting Komentar