Blangkon Identitas Kedaerahan


Blangkon, sebuah istilah yang khalayak kenal untuk menyebutkan sebuah penutup kepala. Tidak hanya pada tradisi Jawa Tengah saja, melainkan orang Bandung (Jawa barat), Orang Jawa Timur, dan bahkan orang Bali juga mengenakan blangkon tersebut.
Blangkon bisa dikategorikan salah satu aksesoris busana jawa untuk kaum laki-laki. Karena pada umumnya yang mengenakan blangkon adalah kaum pria bukan wanita. Sedangkan jenjang usia pemakaian blangkon sejak dari kecil hingga orang dewasa.

Jaman kolonial Belanda, para siswa Sekolah Rakyat haruslah mengenakan blangkon tersebut. Meskipun masih kecil. Laju perkembangan jaman, bercampurnya budaya asing di negeri kita ini, akhirnya banyak mengenal bentuk baru dari penutup kepala, dari udheng sampai topi, jubbah dan lain sebagainya. Macam dan ragamnya juga sangat banyak, sehingga masyarakat kita lambat laun meninggalkan blangkon sebagai penutup kepala mereka, dan blangkon dianggap hal yang jadul dan mati gaya.

Sejarah keberadaan blangkon belum bisa dipastikan keberadaanya, namun yang jelas sebelum orang mengenal blangkon, terlebih dahulu nenek moyang kita telah mengenal penutup kepala yang bernama iket. Iket ini adalah selembaran kain yang digunakan untuk menutup kepala. Ada teman Jagad Jawa yang memberitahukan bahwa, khusus di daerah Yogyakarta, sekitar tahun 1940-an, orang Yogyakarta memakai penutup kepala yang dikenal dengan nama ikêt atau ḍêsṭar. Semenjak Hamengku Buana ke IX memimpin Kraton Yogyakarta, mengingat era itu adalah jaman sudah serba praktis, maka HB IX memikirkan agar ikat kepala tersebut bisa lebih praktis dan permanen. Akhirnya munculah istilah blangkon, yang merupakan perintah dalem HB IX guna mendapatkan ikat kepala yang praktis. Nama blangkon ini berasal dari sistem pembuatannya yang di cetak menggunakan kayu yang dibuat seperti kepala manusia yang namanya blangko (cetakan).

Awal mula keberadaan iket, bisa kita telusuri dari dongeng Aji Saka, seorang yang mengenakan ikat kepala yang mampu mengalahkan Prabu Dewatacengkar dengan ikat kepala tersebut. Dongeng mengenai Aji Saka tentu sahabat Jagad Jawa sudah pernah dengar dan bahkan mampu menceritakannya juga bukan? Nah dari iket yang punya aturan pakai dan agak rumit mengenakannya ini kemudian muncullah sebuah istilah blangkon, yang mana untuk menyebut ikat kepala yang siap pakai seperti topi dan atribut penutup kepala lainnya. Jadi bisa dibilang bahwa Blangkon merupakan bentuk praktis dari iket yang digunakan untuk menutup kepala dan terbuat dari kain yang dibatik dan dikenakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian adat.

Blangkon berasal dari kata blangko, istilah yang dipakai oleh masyarakat Jawa untuk mengatakan tonjolan atau mondolan di bagian belakang blangkon. Berbeda lagi untuk gaya Yogyakarta, juga memiliki model blangkon yang sangat berbeda dengan gaya Surakarta (Jawa Tengah). Gaya Yogyakarta ini bisa dikategorikan menjadi beberapa jenis berdasarkan wironannya, bisa disebut dengan gaya mataraman dan iket krepyak. 

sesuatu yang siap pakai. Sedangkan blangkon ini di wilayah Jawa Tengah sendiri dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan wujudnya, yaitu ada blangkon gaya Surakarta, blangkon ala Kedu dan blangkon gaya Banyumasan. Ada beberapa tipe blangkon yang menggunakan

Wilayah Pasundan juga mengenakan blangkon yang hampir mirip dengan blangkon gaya Surakarta, perbedaan yang mencolok terletak pada corak batiknya. Corak batik ini pula nantinya yang membedakan beberapa blangkon gaya Pasundan, sehingga gaya pasundanpun tidak hanya memiliki satu blangkon, melainkan ada beberapa seperti, barangkangsemplak, sumedangan, wirahnasari dan lain sebagainya. 

Selain itu masih banyak lagi model blangkon sesuai dengan letak geografisnya bisa dikategorikan menjadi dua kategori yaitu wilayah pesisir utara dan wilayah pesisir selatan. Gaya-gaya dan model blangkonya sangat beragam, mungkin juga dalam satu wilayah itu memiliki bebedapa gaya blangkon atau corak blangkon yang berbeda, namun modelnya hanya tetap sama. Ragam corak ini akhirnya menelorkan istilah-istilah atau nama-nama untuk menyebutkan sebuah blangkon berdasarkan coraknya. Banyak sekali nama corak-corak yang dikenal seperti kepodang nyecep sari, merah-kuning, parianom, pandhan binethot, alas kobong, bangi tualak dan masih banyak sebutan lainnya lagi. 

Nilai seni, sopan santun, simbolisasi serta identitas kelompok atau status sosial, nilai yang terakhir kerap menjadi daya tarik sosial-ekonomi, dan wisata-budaya. Dahulu blangkon memang memiliki nilai khusus bagi masyarakat dan terdapat kecenderungan makin banyak digemari. Oleh sebab itu salah satu warisan budaya yang khas dan langka ini perlu dikembangkan. Pengembangan di wilayah inipun sampai sekarang masih terus berlanjut, banyak motif-motif baru yang dilahirkan dari tangan-tangan pengrajin blangkon baik yang ada di Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Jawa TImur, Bali dan lain sebagainya. Sampai sekarang orang bisa melihat perbedaan-perbedaan yang mencolok dari wujud blangkon, sehingga blangkon tertentu mewakili sebuah budaya tertentu.

Artikel tentang Blangkon banyak sekali diketemukan di enternet, disini saya akan menautkan beberapa artikel saja:
Silahkan berkunjung ke link-link tersebut untuk menambah wawasan tentang blangkon.

Gambar ilustrasi di ambil dari Google dengan kata kunci BLANGKON.
Share:

3 komentar:

  1. Bagus.....nanging kok mboten wonten seratan boso Jawi ingih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun Pak Dwiono sampun kersa sambang...hehehe...inggih mangkenipun tetep wonten Pak Dwiono. Menapa menawi kesdu saha lodhang wekdalipun Pak Dwiono nyerat seratan jawi wonten mriki. menawi kersa pendah senenge ati kula. hehehhe. Sungkem

      Hapus
  2. Blangkon Sunda, Cirebon, Sumedang itu semua adalah hasil pengaruh budaya Jawa saat Mataram dulu menguasai Priyangan. Tapi blangkon Priyangan, Cirebon, Sumedang tetap punya bentuk khasnya. Tapi sering blangkon Sunda masih menggunakan motif batik Jawa. Karena batik memang hasil budaya jawa yang sebenarnya tidak ada di Sunda.

    BalasHapus

Yuk Gabung

Total Pengunjung

Penunjung