Benang ruwet, yang ujungnya saling ditarik, bukanya mengendorkan simpul tapi justru mengencangkan tali simpul tersebut. Hingga pada akhirnya ujung lain terputus, dan yang tersimpul lebih susah dilepas. Itulah analogi gambaran era sekarang, baik itu di ranah politik, hukum maupun budaya.
Politik dibingungkan oleh kepentingan antar kubu yang membawa misi masing-masing bendera, hukum sudah tidak lagi menempatkan posisi sebagai orang netral yang hanya mengiyakan kebenaran. Budaya dimana saling klaim antar ras, antar kepercayaan dan seterusnya. Agama sudah diposisikan sebagai alat untuk memperebutkan opini masyarakat, dan mencari pengakuan bahwa pihak A adalah lebih benar dari pihak B. Ironisnya hal serupa juga terjadi di ranah kepercayaan, atau keyakinan atau aliran kebatinan, meskipun diam-diam namun ternyata saling melontarkan misi masing-masing kubu.
Gara-gara Dunia Wayang
Gambaran tersebut kalau di dunia pewayangan disebut sebagai GORO-GORO. Goro-goro adalah bagian adegan yang menggambarkan situasi yang gonjang-ganjing, bergoyang, belum selesai, ontran-ontran atau semacam sesuatu yang menimbulkan banyak kepanikan dan bisa berujung pada kehancuran. Goro-goro ini hanya digambarkan pada pocapan atau janturan dalang saja. Pocapan atau janturan ini semacam narasi, yang isinya menggambarkan situasi yang serba gonjang-ganjing, situasi ribet, ruwet, dan lain sebagainya yang konotasinya rusak dan rusak.
Pada akhirnya goro-goro ini akan disirep oleh tampilnya seorang Punakawan atau Panakawan. Yaitu tampilnya Semar dan anak-anaknya yang sifatnya humor, mengajak rilek, mengajak santai, ajakan tinggalkan situasi sejenak dan bersenang-senang, tetembangan, suka-suka, bergembira. Saya sangat setuju dengan adegan ini, toh semua yang ruwet tidak akan lekas selesai ketika otak kita sudah terpancing emosi. Semua harus diendapkan, dileremkan, dan dalam banyolan-banyolan atau letupan-letupan humor diharapkan mampu menjadi power untuk menyelesaikan masalah. Tentunya dengan berlandaskan apa yang lebih utama dibandingkan kepentingan-kepentingan individu.
Adegan hiburan ini diakhiri oleh seorang ksatria yang sedang bersedih menanyakan segala keruwetanya kepada sang Panakawan. Panakawan adalah sahabat yang mampu memberikan solusi, meskipun hanya sekedar Semar, yang bisa dikonotasikan orang kecil (rakyat), namun panemunya (pendapatnya) juga sangat dibutuhkan dan dipertimbangkan. Meskipun hanya seorang Garang, Petruk ataupun Bagong yang suka konyol.
Gara-gara ini juga kadang tampil disebuah padepokan, seorang ksatria yang menemui seorang begawan, seorang resi, seorang pendita atau brahmana atau paranormal dan lain sebagainya, yang dianggap sebagai tempat berkeluh kesah, dan dianggap sebagai orang yang lebih paham akan tatanan, baik itu tatanan secara hubungan kepolitikan maupun tatanan yang berhubungan erat dengan alam. Ksatria tidak bisa bekerja sendiri, dia juga mengakui akan kekuranganya, dan menempatkan tugasnya hanya sebagai eksekutor, dibalik itu ada banyak orang yang mungkin berlapis-lapis sebagai tempat rujukan atau semacam laboratorium demi sebuah keputusan.
Gonjang-Ganjing Era Sekarang
Adegan dalam pewayangan ini patut untuk ditiru atau di copy atau di realisasikan dalam kehidupan bernegara. Dimana seorang pejabat macam apa saja, tentu saja mempunyai keterbatasan dalam mengambil sikap, baik dari MA, MPR, DPR, Presiden hingga Pak Lurah, atau bahkan Pak RT. Mereka semua harus punya ajudan-ajudan atau semacam panakawan yang bisa digunakan sebagai tempat berunding. Panakawan ini adalah masih dalam ranah semisi atau sevisi. Lapis pertama ini harus masih dilanjutkan lagi ke misi selanjutnya yaitu mencari seorang begawan, seorang yang dipandang, resi, brahmana dan lain sebagainya yang merupakan tokoh berposisi netral yang tidak memihak partai atau embel-embel atau tendensi apapun selain memayu hayuning buwana.
Sayangnya, era sekarang ini adalah era dimana kita kehilangan sosok yang punya posisi netral dan memposisikan dirinya sebagai penerjemah situasi alam dan keadaan kemanusiaan secara menyeluruh. Ironisnya lagi bagi yang paham dan bisa dikategorikan manusia semacam ini justru masih membawa misi-misi tertentu, atau minimal embel-embel dhuwit. Kenapa bisa demikian? Jelas banget dong, karena era sekarang adalah era dhuwit. Dimana uang menjadi tolok ukur, jadi kelas-kelas brahmana atau paranormal yang seharusnya menempatkan posisi netral, dipojokkan oleh situasi yang memang sengaja diarahkan supaya orang-orang ini butuh dhuwit.
Era di Ujung Dhuwit
Wal hasil ujung-ujungnya dhuwit jadi merajalela dan tak kenal ranah, dari tingkat Lurah hingga atas sana, mau masuk jadi pegawai negeri ya harus berdhuwit, parahnya sekarang banyak ruang-ruang yang dulunya difungsikan untuk kepentingan rakyat atau masyarakat, justru mulai menerapkan penyewaan, dan akhirnya ruang-ruang publik ini dijauhi oleh masyarakat, atau masyarakat yang berduwitlah yang berjaya dan bisa menggunakan fasilitas.
Tentunya bisa terbayang jauh ke berbagai ranah lainnya juga kan. Seperti hukum, adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya. Tak ayal ketika semua berujung pada dhuwit, yang ga punya dhuwit ya mringis plus mrongos. Disini sebenarnya keadilan sosial sudah diinjak-injak oleh sebuah kepentingan. Sebagaimana rumor berkembang bahwa Indonesia bukan milik rakyat indonesia lagi, namun pemilik paca cukong-cukong investor asing yang notabene berdhuwit.
Akhir Goro-goro
Masih ada secercah harapan, sebagaimana celah dalam bangunan benteng baja yang tentunya bangunan ini butuh celah untuk bernafas. Sekuat apapun itu benteng tentu ada pintu masuk, ada celah, ada harapan, ada asa yang memungkinkan kita untuk masuk dan menerobos dari dalam tembok beteng dan menghancurkan dari dalam. Jangan dilawan dengan kekuatan yang sifatnya dari luar, namun kekuatan yang dihimpun bersama dan berusaha untuk masuk ke dalam bangunan dan meluluh latahkanya dari dalam. Istilah kekinian yang tepat mungkin adalah semacam revolusi, namun revolusi yang matang, yang mampu melihat celah, yang tahu akan pintu masuk, yang paham seluk beluk di dalam dan bisa mendapatkan kelemahan dari kekuatan yang ada di dalam.
Andai celah itu tak dapat diketemukan, dan pintu susah dimasuki atau belum bisa mendapatkan kelemahan bangunan ini, langkah terkhir hanyalah pasrah pada situasi. Di sini istilahnya adalah pencucian alam, biarkan alam sendiri yang berbicara. Meski banyak para ksatria-ksatria yang telah disiapkan oleh para leluhur bangsa ini, namun seperti dongeng Musa, sekali waktu sang alam sendiri yang bicara dan Musa hanya sebagai penonton. Ketika itu terjadi tak ada pilihan bagi sesiapapun, pasti kena imbasnya, dan biarkan semua terjadi dengan sendirinya. Sebagaimana telur yang pecah dan membelah dirinya, biarkan planet bumi ini sendiri yang berevolusi dalam wujud yang baru.
Foto ilustrasi diambil dari Google dengan kata kunci Gara-gara.
Baca juga artikel lainnya: Satriya Piningit.
Politik dibingungkan oleh kepentingan antar kubu yang membawa misi masing-masing bendera, hukum sudah tidak lagi menempatkan posisi sebagai orang netral yang hanya mengiyakan kebenaran. Budaya dimana saling klaim antar ras, antar kepercayaan dan seterusnya. Agama sudah diposisikan sebagai alat untuk memperebutkan opini masyarakat, dan mencari pengakuan bahwa pihak A adalah lebih benar dari pihak B. Ironisnya hal serupa juga terjadi di ranah kepercayaan, atau keyakinan atau aliran kebatinan, meskipun diam-diam namun ternyata saling melontarkan misi masing-masing kubu.
Gara-gara Dunia Wayang
Gambaran tersebut kalau di dunia pewayangan disebut sebagai GORO-GORO. Goro-goro adalah bagian adegan yang menggambarkan situasi yang gonjang-ganjing, bergoyang, belum selesai, ontran-ontran atau semacam sesuatu yang menimbulkan banyak kepanikan dan bisa berujung pada kehancuran. Goro-goro ini hanya digambarkan pada pocapan atau janturan dalang saja. Pocapan atau janturan ini semacam narasi, yang isinya menggambarkan situasi yang serba gonjang-ganjing, situasi ribet, ruwet, dan lain sebagainya yang konotasinya rusak dan rusak.
Pada akhirnya goro-goro ini akan disirep oleh tampilnya seorang Punakawan atau Panakawan. Yaitu tampilnya Semar dan anak-anaknya yang sifatnya humor, mengajak rilek, mengajak santai, ajakan tinggalkan situasi sejenak dan bersenang-senang, tetembangan, suka-suka, bergembira. Saya sangat setuju dengan adegan ini, toh semua yang ruwet tidak akan lekas selesai ketika otak kita sudah terpancing emosi. Semua harus diendapkan, dileremkan, dan dalam banyolan-banyolan atau letupan-letupan humor diharapkan mampu menjadi power untuk menyelesaikan masalah. Tentunya dengan berlandaskan apa yang lebih utama dibandingkan kepentingan-kepentingan individu.
Adegan hiburan ini diakhiri oleh seorang ksatria yang sedang bersedih menanyakan segala keruwetanya kepada sang Panakawan. Panakawan adalah sahabat yang mampu memberikan solusi, meskipun hanya sekedar Semar, yang bisa dikonotasikan orang kecil (rakyat), namun panemunya (pendapatnya) juga sangat dibutuhkan dan dipertimbangkan. Meskipun hanya seorang Garang, Petruk ataupun Bagong yang suka konyol.
Gara-gara ini juga kadang tampil disebuah padepokan, seorang ksatria yang menemui seorang begawan, seorang resi, seorang pendita atau brahmana atau paranormal dan lain sebagainya, yang dianggap sebagai tempat berkeluh kesah, dan dianggap sebagai orang yang lebih paham akan tatanan, baik itu tatanan secara hubungan kepolitikan maupun tatanan yang berhubungan erat dengan alam. Ksatria tidak bisa bekerja sendiri, dia juga mengakui akan kekuranganya, dan menempatkan tugasnya hanya sebagai eksekutor, dibalik itu ada banyak orang yang mungkin berlapis-lapis sebagai tempat rujukan atau semacam laboratorium demi sebuah keputusan.
Gonjang-Ganjing Era Sekarang
Adegan dalam pewayangan ini patut untuk ditiru atau di copy atau di realisasikan dalam kehidupan bernegara. Dimana seorang pejabat macam apa saja, tentu saja mempunyai keterbatasan dalam mengambil sikap, baik dari MA, MPR, DPR, Presiden hingga Pak Lurah, atau bahkan Pak RT. Mereka semua harus punya ajudan-ajudan atau semacam panakawan yang bisa digunakan sebagai tempat berunding. Panakawan ini adalah masih dalam ranah semisi atau sevisi. Lapis pertama ini harus masih dilanjutkan lagi ke misi selanjutnya yaitu mencari seorang begawan, seorang yang dipandang, resi, brahmana dan lain sebagainya yang merupakan tokoh berposisi netral yang tidak memihak partai atau embel-embel atau tendensi apapun selain memayu hayuning buwana.
Sayangnya, era sekarang ini adalah era dimana kita kehilangan sosok yang punya posisi netral dan memposisikan dirinya sebagai penerjemah situasi alam dan keadaan kemanusiaan secara menyeluruh. Ironisnya lagi bagi yang paham dan bisa dikategorikan manusia semacam ini justru masih membawa misi-misi tertentu, atau minimal embel-embel dhuwit. Kenapa bisa demikian? Jelas banget dong, karena era sekarang adalah era dhuwit. Dimana uang menjadi tolok ukur, jadi kelas-kelas brahmana atau paranormal yang seharusnya menempatkan posisi netral, dipojokkan oleh situasi yang memang sengaja diarahkan supaya orang-orang ini butuh dhuwit.
Era di Ujung Dhuwit
Wal hasil ujung-ujungnya dhuwit jadi merajalela dan tak kenal ranah, dari tingkat Lurah hingga atas sana, mau masuk jadi pegawai negeri ya harus berdhuwit, parahnya sekarang banyak ruang-ruang yang dulunya difungsikan untuk kepentingan rakyat atau masyarakat, justru mulai menerapkan penyewaan, dan akhirnya ruang-ruang publik ini dijauhi oleh masyarakat, atau masyarakat yang berduwitlah yang berjaya dan bisa menggunakan fasilitas.
Tentunya bisa terbayang jauh ke berbagai ranah lainnya juga kan. Seperti hukum, adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya. Tak ayal ketika semua berujung pada dhuwit, yang ga punya dhuwit ya mringis plus mrongos. Disini sebenarnya keadilan sosial sudah diinjak-injak oleh sebuah kepentingan. Sebagaimana rumor berkembang bahwa Indonesia bukan milik rakyat indonesia lagi, namun pemilik paca cukong-cukong investor asing yang notabene berdhuwit.
Akhir Goro-goro
Masih ada secercah harapan, sebagaimana celah dalam bangunan benteng baja yang tentunya bangunan ini butuh celah untuk bernafas. Sekuat apapun itu benteng tentu ada pintu masuk, ada celah, ada harapan, ada asa yang memungkinkan kita untuk masuk dan menerobos dari dalam tembok beteng dan menghancurkan dari dalam. Jangan dilawan dengan kekuatan yang sifatnya dari luar, namun kekuatan yang dihimpun bersama dan berusaha untuk masuk ke dalam bangunan dan meluluh latahkanya dari dalam. Istilah kekinian yang tepat mungkin adalah semacam revolusi, namun revolusi yang matang, yang mampu melihat celah, yang tahu akan pintu masuk, yang paham seluk beluk di dalam dan bisa mendapatkan kelemahan dari kekuatan yang ada di dalam.
Andai celah itu tak dapat diketemukan, dan pintu susah dimasuki atau belum bisa mendapatkan kelemahan bangunan ini, langkah terkhir hanyalah pasrah pada situasi. Di sini istilahnya adalah pencucian alam, biarkan alam sendiri yang berbicara. Meski banyak para ksatria-ksatria yang telah disiapkan oleh para leluhur bangsa ini, namun seperti dongeng Musa, sekali waktu sang alam sendiri yang bicara dan Musa hanya sebagai penonton. Ketika itu terjadi tak ada pilihan bagi sesiapapun, pasti kena imbasnya, dan biarkan semua terjadi dengan sendirinya. Sebagaimana telur yang pecah dan membelah dirinya, biarkan planet bumi ini sendiri yang berevolusi dalam wujud yang baru.
Foto ilustrasi diambil dari Google dengan kata kunci Gara-gara.
Baca juga artikel lainnya: Satriya Piningit.
0 komentar:
Posting Komentar