Feminisme merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Jika memang begitu
adanya, feminisme ala Jawa adalah salah satu paham yang memang berbeda dengan
feminisme yang ada di belahan dunia lainya. Mari kita cermati paham-paham
feminisme yang ada sekarang ini.
Feminisme Liberal
Sebuah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki
kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan
dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan
publik. Setiap manusia punya kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula dengan perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan
pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia ini dalam
kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminisme Radikal
Aliran yang menawarkan sebuah ideology “perjuangan separatism
perempuan”. Kemunculannya sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksualitas dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah salah satu fakta dalam sistem masyarakat yang
sekarang ada.
Feminisme Postmodern
Gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap
fenomena sosial karena pertentanganya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Aliran ini berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau
struktur sosial.
Feminisme Anarkis
Faham ini lebih bersifat sebagai suatu politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap Negara dan sistem
patriarki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin
harus dihancurkan.
Feminisme Marxis
Memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi
kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan
aliran ini. Status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi.
Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange, akibatnya mereka mendominasi
hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti.
Feminisme Sosialis
Slogan aliran ini adalah “taka da sosialisme tanpa
pembebasan perempuan, taka da pembebasan perempuan tanpa sosialisme.” Aliran
ini berjuang untuk menghapus sistem kepemilikan. Lembaga perkawinan yang
melegalisir kepemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri
dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas,
tanpa pembedaan gender.
Feminisme Postkolonial
Akar pandangan ini terletak pada penolakan universalitas
pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di Negara dunia ketiga
(koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama.
Perempuan dunia ketiga menanggung bebann penindasan lebih berat karena selain
mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan atar
bangsa, suku, ras dan agama. Intinya aliran ini menggugat penjajahan, baik
fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
Feminisme Nordic
Kaum ini dalam menganalisis sebuah Negara berbeda dengan
pandangan Feminis Marxis maupun radikal. Nordic lebih menganalisa feminisme
bernegara atau politik dari praktik-praktik yang bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuann harus berteman dengan Negara karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui Negara yang didukung
kebijakan sosial Negara.
Dari berbagai aliran tentang feminimisme ini dapat diketahui
dengan jelas apa yang mereka perjuangkan, dan apa yang mereka harapkan. Selanjutnya
kita tengok ke belakang jauh, bagaimana orang Jawa Kuno (nenek moyang) kita
menempatkan seorang wanita (lebih tepatnya memposisikan seorang ibu) di era
itu, dan bagaimana kaum lelaki menempatkan para wanita (istri). Dongeng Ratu
Kidul, Dongeng Ratu Shima dan masih banyak lagi, hingga era modern, jatuhnya
Suharto di hubungkan erat dengan kematian Ibu Tien, Megawati yang punya
wewenang menjadi presiden. Menurut saya itu merupakan salah satu bukti bahwa
kita memang bukan penganut patriarkis. Namun demikian juga bukan penganut paham
feminisme. Lalu apa yang jadi paham masyarakat Jawa kuno, dan secara genetik
(baik sadar maupun tidak sadar) masih tersebar hingga sekarang?
Simbok
Banyak yang bilang bahwa Simbok adalah bahasa jawanya Ibu. Namun bagi orang Jawa Simbok bukan sekedar ibu, melainkan sebuah paham, sebuah aliran, mungkin bisa disebut sebuah kepercayaan. Berbeda dengan Ibu Pertiwi, berbeda dengan Batari Pertiwi, Berbeda dengan aliran Durga (Ibu Kali).
Banyak aliran yang mengatas
namakan garis perempuan, seperti materialineal dan matriarkhi, namun Simbok ini berbeda. Kalau Matrialineal
adalah paham yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu,
sedangkan Matriarkhi adalah kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak
perempuan. Simbok menganggap bahwa ibu adalah sumber dari segala sumber.
Ibu Pertiwi sudah dipersonifikasikan sebagai bangsa Indonesia, atau personifikasi tanah jawa, ataupun personifikasi kesuburan, ada juga yang menyatakan ibu pertiwi adalah sama dengan ibu bumi. Namun orang Jawa masih punya sebutan lain yaitu Simbok. Simbok adalah Semesta Raya, jagad cilik dan jagad gedhe, atau justru bisa diartikan ibunya para leluhur dunia, ibunya pada dewa, ibunya para planet, dan seterusnya, yang sifatnya sangat luas dan asal mula (mula bukane).
Baiklah, kita bicarakan sedikit demi sedikit, supaya ada pemahaman. Sebelum kenal ucapan syukur Alhamdulillah, dan ucapan syukur
ala Hindu ataupun ala Budha, Masyarakat Jawa sudah kenal sebutan “penake
simboook, matur nuwun simbooook” dan lain sebagainya yang intinya adalah ucapan
terima kasih kepada Simbok. Ucapan ini bukan berarti tak beralasan,
namun memang disadari atas pemahaman mereka, bahwa segala sesuatu bermuara dari
kelahiran, dan semua manusia lahir dari seorang ibu. Pemikiran inilah yang
mendasarinya.
Bukti lainnya dan yang masih bisa kita tangkap hingga sekarang
adalah berupa bentuk pintu rumah Joglo (mungkin perlu dikaji lebih jauh sejak
kapan kita punya arsitektur rumah joglo). Ada pendapat yang menyatakan bahwa
pintu rumah itu adalah simbolisasi dari yoni (vagina) ibu (simbok). Ketika kita berada
di dalam rumah berarti kita masih bayi dan bertapa, sedangkan keluar dari rumah
adalah kelahiran dan menjalani aktifitas sosial (bermasyarakat).
Bagaimana seorang Simbok yaang oleh masyarakat Jawa ditempatkan pada
posisi tertinggi, dia bukanlah sekedar seorang wanita, bukan sekedar paham feminisme yang hanya memperjuangkan kestrataan sosial, namun Simbok adalah manifestasi
dari Penguasa semesta. Orang jawa percaya bahwa segala sesuatu berasal
dari Simbok (ibu), dalam Rahim ibu tiap manusia perpuasa, tiap manusia berproses
(dari berbagai macam bakteri hingga menjelma menjadi bayi) dan bagaimana ibu
telah melimpahkan kuasanya di bumi, dengan segala kemurahanya.
Sebutan Simbok sampai sekarang masih terngiang, namun
secara rinci dan detail ajaran Simbok sudah tidak dikenal lagi. Masuknya
berbagai aliran yang sifatnya patriarkis membombadir dan menghancurkan kearifan
lokal nenek moyang orang Jawa ini. Berawal dari jaman masuknya Hindu hingga
jaman masuknya Islam sampai sekarang. Makanya, jangan kaget kalau sekarang
orang Jawa dipercaya penganut paham patriarki.
Sumber inspiratif:
Gambar di ambil dari Google dengan kata kunci Semesta Raya dan Ibu Pertiwi.
0 komentar:
Posting Komentar