Kabar Dari Koripan (Kormat Yu Patmi)



Kemarin malam tepatnya tanggal 30 Maret 2017 saya di undang oleh teman lama yang mengadakan sebuah acara. Acara itu berkenaan dengan kasus meninggalnya Yu Patmi yang melakukan aksi cor kaki untuk pembebasan wilayah Gunung Kendheng di Rembang. Teman saya adalah seorang penggiat seni rakyat yang memiliki sanggar seni yang bernama “Padepokan Puser Jagad Koripan”, yang beralamatkan di Desa Kragan, Polanharjo, Kabupaten Klaten.

Acara ini sifatnya adalah spontanitas di kalangan pemerhati lingkungan hidup khususnya wilayah Klaten. Meskipun demikian saya merasakan aura gotong royong yang kuat di sana, dimana semua pengisi acara datang dengan sukarela tanpa pungutan biasa sepersenpun. Sayangnya datang saya terlambat, sampai sana tepat ada pertunjukan gejug lesung yang dipertunjukkan oleh Kelompok Laras Madya dari desa Trucuk, Klaten. Menurut jadwal sih awal pertunjukan di mulai dari pukul 19.30 yang diawali oleh performing art yang diprakarsai oleh Kelompok Solo Raya Bergerak.

Acara demi acara saya lalui sambil menikmati suguhan teh dan snack ala pedesaan. Tidak ada yang berfisat bungkusan, semua suguhan berasal dari hasil panen, seperti kacang, ubi-ubian, kedelai, pisang godog dan masih banyak lainnya. Tak luput juga ada sajian makan malam berupa nasi liwet.
Perhatian saya tertuju ketika ada seorang cewek yang membawakan sebuah geguritan (puisi Jawa) di salah satu pertunjukan yang di gelar. Yang masih terngiang sampai saat ini adalah kata-kata:

Ibu Bumi wis maringi,
Ibu bumi dilarani,
Ibu bumi sing ngadili,

Ternyata ini adalah bait syait yang terucap saat aksi penolakan pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendheng, begitu terus terucap hingga saat meninggalnya seorang Srikandi era sekarang yaitu Yu Patmi. Bahkan menjadi viral di media sosial. Begitu kuatnya gelombang dukungan moril bagi perjuangan Yu Patmi ini. Sampai-sampai teman saya dan wadyobolonya juga ikut menyelenggarakan acara ini. 



Iya ibu bumi memang sekarang tersakiti, dan amat sangat dilupakan. Manusia modern sudah mulai asyik dengan kreatifitasnya untuk memblendukkan waduknya sendiri, sehingga melupakan kaidah-kaidah alam, hukum alam dan rantai alam. Semua dilakukan tanpa pertimbangan masak, hanya untuk kepuasan harta, dan ironisnya adalah demi untuk golongan kecil. Dengan berbagai dalih, seperti pembangunan dan lain sebagainya. 

Semua bermula dari sebuah sejarah yang selalu dikuasai oleh para penguasa sebuah era. Dari jaman Hindu masuk hingga sekarang masih Berjaya model-model seperti ini. Dan anehnya masyarakat kita serasa di nina bobokkan oleh janji-janji yang tiada bukti, kata-kata manis yang membuai kepekaan berfikir. Ntahlah sampai kapan hal ini akan terus terjadi, meski saya juga paham ada barisan-barisan yang mencoba mendobrak hal ini, namun ibarat sebuah batu kecil melempari sebuah bangunan kokoh yang terbuat dari baja berlapis batu alam yang kuat.

Tentang semen, saya mendengar berbagai versi dari teman-teman yang ada di Cilacap, tentang keberadaan semen Holcim di sana. Saya juga mendengar sendiri tentang pro kontra akan pendirian Semen di wilayah Rembang. Memang susah kalau sudah berurusan tentang iming-iming swadaya, iming-iming pekerjaan bagi para petani. Namun perlu diingat bahwa suara mereka yang minoritas harus juga diperhatikan, lepas dari runmor yang berkembang, yang katanya ada pihak ketiga yang membiayai proyek berdirinya pabrik semen ini.

Biarlah para-para yang kawogan mengatasi hal ini, tulisan ini tidak ingin mengadu domba, juga ga berpihak pada siapapun, yang jelas saya pribadi adalah pecinta lingkungan, nenek saya pernah berpesan tentang sebuah penghasilan yang didapatkan dari alam. “Ambilah secukupnya dan selebihnya bagilah dengan tetangga.” Indah kata iini, namun ketamakan kadang menyentuh jiwa manusia dan menjadikannya srigala, sehingga sang jiwa terpendam dalam kelarutan imajinasi kemegahan.
Menurut tuturan Agung Bakar (teman saya), bahwa acara di mulai sejak pagi hari berupa ngangsu air suci ke 7 tuk atau sumber air yang ada di wilayah tersebut. Adapun sumber atau tuk itu diantaranya adalah; Sigedang, Susuhan, Jalatunda, Gedaren, Nilo, Pelem dan Manten. Ngangsu sendhang ini dilakukan dengan cara jalan kaki, dari mata air yang satu ke mata air yang lainnya. Perjalanan ini memakan waktu hingga sore hari. Baru malam harinya diadakan pertunjukan-pertunjukan. Akhir dari acara Sarasehan Cekak Aos iini adalah kirim doa untuk Yu Patmi yang dilakukan oleh para pemuka agama yang tergabung dalam Lintas Agama. 

Sebuah reportase untuk teman saya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk Gabung

Total Pengunjung

Penunjung