Tembang di Jawa memang kurang populer di kalangan manusia modern
sekarang ini. Mayoritas mereka hanya mengenal tembang macapat, padahal
tembang macapat ini adalah tembang cilik. Adapun tembang-tembang
lainnya yaitu, ada tembang Maca-sa Lagu, Maca-ro Lagu kemudian ada
Maca-tri Lagu dan yang terakhir adalah tembang Maca-pat Lagu.
Menurut buku Mardawa Lagu, di dapatkan sedikit informasi yang mungkin bisa digunakan sebagai pedoman tentang sejarah atau lebih tepatnya asal-usul dari tembang jawa. Mardawa lagu adalah sebuah buku yang di tulis oleh seorang pujangga yaitu Ronggowarsito, tulisan aslinya dalam bentuk aksara jawa dan mennggunakan bahasa krama, kemudian di alih bahasakan oleh Raden Tanoyo ke dalam bahasa ngoko dan diterbitkan menggunakan huruf abjat latin oleh Toko Buku Sadu Budi Surakarta.
Dalam
buku tersebut disebutkan bahwa tembang Maca-sa lagu dibuat oleh para
dewa yang di populerkan oleh Batara Srita, kemudian ditulis oleh Batara
Panyarikan. Selanjutnya tembang ini diajarkan kepada seorang brahmana
yang bernama Walmiki, oleh Walmiki disebarluaskan hingga terkenal sampai
ke jaman Prabu Jayabaya di Kediri, Macasalagu ini juga dikembangkan
oleh Empu Yogiswara.
Sedangkan untuk tembang Maca-ro lagu ini di buat oleh para empu-empu yang hidup di era jaman Kediri, yaitu di eranya Prabu Jayabaya. Secara rinci tidak disebutkan nama-nama pembuat tembang macaro lagu ini. Tembang macatri lagu dibuat oleh Resi Wiratmaka, Brahmana di kerajaan Janggala, kemudian di sebar luaskan oleh Prabu Panji Hino Kertapati beserta sanak familinya, dan dapat dinikmati hingga sekarang, meskipun sudah jarang orang mengenal, namun di ranah dunia karawitan kadang masih menggunakan macatri lagu ini.
Untuk sejarah tembang macapat, banyak versi menyebutkan bahwa tembang macapat ini adalah buatan atau ciptaan sunan Kalijaga. Namun dalam buku ini sama sekali tidak menyebut nama Sunan Kalijaga. Pencipta tembang macapat ini adalah Sunan Giri yang kemudian diajarkan kepada Sunan Bonang, dan di sebar luaskan oleh para wali yang hidup di era itu. Tembang macapat ini yang paling digemari sampai era sekarang, serta banyak peminatnya, dibandingkan dengan tembang-tembang yang lainya.
Dari uraian yang ada dalam buku Mardawa lagu secara singkat dapat dijelaskan bahwa tembang-tembang di Jawa itu bisa digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu têmbang gêdhé, têmbang têngahan dan têmbang cilik. Têmbang gêdhé terdiri dari tembang macasa lagu dan tembang macaro lagu, sedangkan tembang tengahan terdiri dari tembang macatri lagu, dan tembang cilik adalah macapat lagu.
Menurut buku Mardawa Lagu, di dapatkan sedikit informasi yang mungkin bisa digunakan sebagai pedoman tentang sejarah atau lebih tepatnya asal-usul dari tembang jawa. Mardawa lagu adalah sebuah buku yang di tulis oleh seorang pujangga yaitu Ronggowarsito, tulisan aslinya dalam bentuk aksara jawa dan mennggunakan bahasa krama, kemudian di alih bahasakan oleh Raden Tanoyo ke dalam bahasa ngoko dan diterbitkan menggunakan huruf abjat latin oleh Toko Buku Sadu Budi Surakarta.
Asal-usul Tembang
Sedangkan untuk tembang Maca-ro lagu ini di buat oleh para empu-empu yang hidup di era jaman Kediri, yaitu di eranya Prabu Jayabaya. Secara rinci tidak disebutkan nama-nama pembuat tembang macaro lagu ini. Tembang macatri lagu dibuat oleh Resi Wiratmaka, Brahmana di kerajaan Janggala, kemudian di sebar luaskan oleh Prabu Panji Hino Kertapati beserta sanak familinya, dan dapat dinikmati hingga sekarang, meskipun sudah jarang orang mengenal, namun di ranah dunia karawitan kadang masih menggunakan macatri lagu ini.
Untuk sejarah tembang macapat, banyak versi menyebutkan bahwa tembang macapat ini adalah buatan atau ciptaan sunan Kalijaga. Namun dalam buku ini sama sekali tidak menyebut nama Sunan Kalijaga. Pencipta tembang macapat ini adalah Sunan Giri yang kemudian diajarkan kepada Sunan Bonang, dan di sebar luaskan oleh para wali yang hidup di era itu. Tembang macapat ini yang paling digemari sampai era sekarang, serta banyak peminatnya, dibandingkan dengan tembang-tembang yang lainya.
Golongan dan Jenis Tembang
Dari uraian yang ada dalam buku Mardawa lagu secara singkat dapat dijelaskan bahwa tembang-tembang di Jawa itu bisa digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu têmbang gêdhé, têmbang têngahan dan têmbang cilik. Têmbang gêdhé terdiri dari tembang macasa lagu dan tembang macaro lagu, sedangkan tembang tengahan terdiri dari tembang macatri lagu, dan tembang cilik adalah macapat lagu.
1. Têmbang Gêdhé
Tembang
Gedhe ini sering dikenal atau disebut dengan istilah Sekar Ageng atau
Sekar Kawi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno).
Pada penggolongan di atas telah jelas bahwa,
tembang gedhe lebih tua dari tembang lainnya, atau bisa disebut lahir
pada kurun waktu yang awal. Tembang Gedhe ini sampai sekarang juga masih
sering digunakan, kita dapat menjumpainya dalam seni karawitan yang
sering digunakan untuk 'bawa' pada sebuah sajian gending.
Jenis Têmbang Gêdhé ini dibagi menjadi beberapa bagian, tergantung pada laku-nya. Adapun urutannya adalah sebagai berikut:
-
Wasistha lagu, laku 5, contoh tembangnya adalah: Tembang Rêrantang,
Têmbang Puksara, Têmbang Giyanti, Têmbang Wijayanti, Têmbang
Wanamrenggi.
- Samyata (Sasyata lagu), laku 6, contoh tembangnya: Têmbang Gurnang, Têmbang Binaya, Têmbang Tanumadya, Têmbang Kusumitajanma.
- Syustika lagu, laku 7, contoh tembangnya adalah: Têmbang Lélah, Têmbang Wasundari, Têmbang Madaléka, Têmbang Sundari.
-
Nasthupa lagu, laku 8, contoh tembangnya adalah: Têmbang Rumini,
Têmbang Sapantika, Têmbang Widyatmala, Têmbang Samaning, Têmbang
Lilalila, Têmbang Jalasangara dan lain-lain.
-
Wrêhati lagu, laku 9, contoh tembangnya: Têmbang Têbukasol, Têmbang
Bujanggasri, Têmbang Garantang, Têmbang Ijrapa dan lain-lain.
-
Sapaktya lagu, laku 10, contoh tembangnya adalah: Têmbang Têbusauyun,
Têmbang Toritagati, Têmbang Swanaba dan masih banyak lagi.
- Tristha lagu, laku 11, contoh tembangnya: Têmbang Madukara, Têmbang Walawala, Têmbang Madubrata, dan masih banyak lagi.
Untuk
nama lagu ini tertulis hingga 30 lagu, jadi untuk jenis tembang gedhe
ini memang sangat banyak sekali. Istilah pedhotan baru digunakan dalam
wrêhati lagu, laku 9 yang di bagi menjadi dua pêdhotan yaitu laku 5 dan
laku 4. Laku 10 dibagi menjadi laku 5 dan laku 5.
2. Têmbang Têngahan
Tembang
tengahan merupakan tembang yang lahir setelah tembang gedhe, disebut tembang tengahan karena tembang ini lebih tua ketimbang
tembang macapat. Tembang tengahan cenderung bersifat humor dan berisi
pitutur atau piwulang luhur (ajaran yang baik). Tembang tengahan
sendiri memiliki aturan seperti tembang macapat yaitu guru lagu dan guru
wilangan. Adapun untuk guru lagu dan wilanganya di bagi menjadi beberapa jenis sebagai berikut;
- Têmbang Kuswarini: 12u, 6a, 8u, 8a, 8i, 8a, 8i.
- Têmbang Kulanté: 6é, 6é, 8a, 8i, 8u, 8é, 8i, 12é.
- Têmbang Palugon: 8a, 8u, 8o, 8u, 8o, 8a, 8u, 8o
- Têmbang Kuswaraga: 8o, 8a, 8i, 8u, 8a, 8i, 8i, 8a, 8u.
- Têmbang Lindur: 10u, 10u, 8i, 8u, 8i, 8a, 6i, 6a,6i.
- Têmbang Kuswawirangrong: 8i, 8o, 10u, 6i, 7a, 8a.
- Têmbang Sumekar: 12i, 11a, 8a, 8i, 10é.
- Têmbang Rangsangtuban: 12u, 6u, 6a, 8u, 8a, 8i, 7i, 8u.
- Têmbang Palugangsa: 8a, 11é, 12é, 8a, 8a, 8i.
- Têmbang Jurudemung; 8a, 8u, 8u, 8a, 8u, 8a, 8u.
- Têmbang Balabak; 12?, 3é, 12?, 3é, 12?, 3é. (yang 12 itu dong dingnya bebas)
Dan
masih banyak lagi jenis tembang yang tergolong dalam Sekar Tengahan
atau Tembang Tengahan ini, dalam buku Mardawa lagu ini tercatat sebanyak
51 jenis tembang tengahan.
3. Tembang Cilik (Sekar Alit)
Tembang
Macapat (Sekar Alit) adalah tembang yang lahir pada kurun waktu yang
keempat. Secara tersurat telah dibahas pada penggolongan di atas.
Tembang Macapat sendiri memiliki kaidah atau aturan-aturan tertentu pada
setiap tembangnya, seperti guru lagu, guru wilangan dan guru gatra.
Tembang Macapat berjumlah sebelas, antara lain : Pocung, Kinanthi, Dhandanggula, Maskumambang, Pangkur, Asmaradhana, Mijil, Gambuh, Durma, Megatruh, Sinom.
Ilustrasi gambar di ambil dari Google, dengan kata kunci Serat Mardawalagu.
Untuk melengkapi informasi tentang tulisan ini silahkan berkunjung ke:
- Macapat
0 komentar:
Posting Komentar