Sanggit sudah tidak asing lagi bagi
telinga penggemar wayang, yang bisa diartikan sebagai ciri khas seorang
dalang dalam membawakan cerita tertentu. Dalang A dan dalang B dalam
sajiannya akan berbeda meskipun mereka menyajikan satu lakon. Kadang
juga dalang A dalam membawakan lakon yang sama tetapi dipentaskan
beberapa kali ditempat yang berbeda juga akan berbeda dalam sajiannya.
Karena memang pertunjukan wayang itu sangat kontekstual. Tulisan ini
hanya akan memberikan sedikit gambaran tentang apa itu sanggit dan
bagaimana menyusun sanggit yang baik. Tentunya ini merupakan salah satu
alternatif atau sebagai penawaran sistem kerja bagi seorang dalang
ataupun calon dalang.
Nah sebagai ilustrasi saya sisipkan
tembang macapat Megatruh yang terdapat dalam Serat Sabdajati karangan
Ranggawarsita. Untuk mengetahui lebih detail tentang serat ini anda bisa
berkunjung (klick aja di sini).
Haywa pegat ngudia ronging budyayu,
margane suka basuki,
dimen luwa kang kinayun,
kalis ing panggawe sisip,
ingkang taberi prihatos.
Ulatana kang nganti bisa kapangguh,
galedhagen kang sayekti,
talitinen aywa kleru,
larasen sajroning urip,
den tumanggap dimen manggon.
Panggonane aneng pangesthi rahayu,angayomi ing tyas wening,
eninging ati kang suwung,
nanging sejatine isi,
isine cipta kang yektos.
Lakonana kalawan sabaring kalbu,
yen den obah neniwasi,
kasusupan setan gundhul,
ambebedhung nggawa kandhi,
isine rupiyah keton.
Perkembangan jaman menuntut
kreatifitas seorang dalang sebagai pelaku seni dalam pertunjukkan
wayang. Kreatifitas adalah merupakan sistem atau cara kerja dalang, maka
kreatifitas dapat dibagi menjadi dua bagian, dalam hal ini Jlitheng
Suparman berpendapat bahwa secara sistematik, wujud kreativitas dalang
terdiri dari dua dimensi: konsep dan implementasi konsep. Sanggit adalah
konsep yang disusun di bawah panggung berupa teks (balungan lakon dan
atau naskah). Implementasi konsep adalah tafsir teks dalam bentuk sajian
yang disebut “cak pakeliran” Bangunan teks (sanggit
atau konsep cerita/lakon) atau disebut struktur cerita terdiri dari
unsur-unsur substansial berupa tema, amanat, alur/plot, setting, dan
penokohan. Implementasi teks atau sanggit disebut “cak pakeliran” yakni
penyajian atau tafsir sanggit melalui perangkat ekspresi berupa: catur,
sabet dan gendhing. Pengolahan dari ketiga perangkat ekspresi tersebut
menghasilkan sebuah nuansa ekspresi berupa: sem, nges, greget, dan regu.
Lebih jelasnya bahwa sanggit merupakan
salah satu kinerja dalang dalam menyusun sebuah naskah (naskah wayang).
Naskah ini bisa berbentuk balungan lakon atau naskah utuh. Balungan
lakon hanya terdiri dari struktur adegan atau plot-plotnya, sedangkan
naskah utuh adalah sudah menjelaskan sajiannya secara menyeluruh.
Artinya sanggit merupakan langkah awal dalang sebelum melakukan
pementasan. Menurut pemikiran saya dengan adanya sanggit, maka akan
tercipta (timbul) ilustrasi untuk musik dan sabet. Artinya sanggit
merupakan elemen dari totalitas pertunjukan wayang tersebut. Dengan
sanggit kemudian musik bisa berbicara dengan mediumnya yang sifatnya
memberikan ilustrasi baik dengan mengkaji penokohan (pengkharakteran)
atau suasana adegan yang diharapkan. Dalang bisa menciptakan stayle
sabet yang sesuai dengan sanggit yang dibuat. Mungkin juga bisa disebut
sanggit merupakan kunci dari sistematis pertunjukan wayang. Oleh karena
sanggit merupakan elemen dari keseluruhan sajian, maka dalam pembuatan
sanggit sangat perlu perenungan-perenungan secara matang, dengan
memperhatikan alur cerita, dramatikalnya dan setting atau situasi.
- Daya imajinasi adalah lebih dikarenakan cerita wayang itu bersifat fiktif atau khayalan. Bukan sekedar mensitir kisah nyata, tetapi lebih dalam keliaran berfikir khayalan, sehingga tidak nampak atau semu, perbandingannya adalah wartawan yang tukang cari kabar, dia hanya menggaris bawahi kabar tersebut. Wah bagus ini kalau soal berkhayal, aku paling hobi, berkhayal punya cewek, ha ha ha.
- Kepekaan intuisi adalah kepekaan rasa dan nalar kita terhadap peristiwa-peristiwa sekeliling kita kekinian sehingga realitas itu menjadi materi tematik maupan sebagai muatan kisah nantinya. Kepekaan intuisi ini bisa dicapai kalau jaman nenek moyang dahulu dengan cara laku brata. Apakah cara-cara seperti itu masih relevan dengan situasi sekarang? Itu tergantung kedewasaan masing-masing individu dalang. Menurut saya pribadi bahwa dengan cara banyak membaca, menggunakan berbagai media untuk mencari informasi itu adalah salah satu langkah yang bagus di era komunikasi seperti sekarang ini. Toh semua sudah dibahas, semua sudah ditulis, kita tinggal belajar dan memahami saja. Budayakan browsing di google atau yahoo dan cari reverensi di wikipedia dan lain sebagainya.
- Intelektualitas adalah khasanah ilmu pengetahuan, kemampuan analisis persoalan dan kamampuan meramu antara pembayangan, realitas kekinian dan materi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan khasanah cerita wayang yang ada. Intelektualitas adalah khasanah ilmu pengetahuan, kemampuan analisis persoalan dan kamampuan meramu antara pembayangan, realitas kekinian dan materi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan khasanah cerita wayang yang ada. Jika tiga instrumen tersebut berjalan maka akan terumuskan sebuah sanggit yang secara struktural berkualitas/menarik dan kontekstual.
Toh jaman dulu nenek moyang kita sudah terkenal dengan ndregilnya atau pinter ngothak-athik
(tentunya dengan berbagai pertimbangan), sehingga Mahabarata dan
Ramayana yang ada sekarang berbeda dengan sumber aslinya secara alur
cerita. Karena terdapat penambahan-penambahan di sana sini yang tentunya
penambahan tersebut sesuai dengan situasi jamannya. Istiliahnya
kendregilah simbah-simbah karena memang mereka peka terhadap situasi
jamannya, tidak hanya menggunakan sebuah dogma begitu saja, tetapi lebih
dititik beratkan pada pengkawinan antara dogma yang datang dengan
tradisi lokal, sehingga tercipta sebuah bentuk baru.
Dari pendapat tersebut jelas bahwa cara
kerja dalang meliputi pra pertunjukan dan pertunjukan itu sendiri.
Pembentukan konsep pertunjukan yang berhubungan dengan sanggit sangat
membutuhkan kepekaan bagi seorang dalang dalam menanggapi fenomena yang
sedang terjadi di masyarakat. Alhasil seorang dalang harus senantiasa
belajar, memahami dan menyimpulkannya. Sehingga terbentuk sebuah konsep
baru yang memadai dan mampu memberikan pencerahan terhadap para
penggemar wayang. Dengan demikian pasti wayang selalu di gemari oleh
masyarakat pendukungnya dan tetap eksis. Mangga teman-teman calon dalang
berlatih dan belajar bersama yuk.
Hasil Diskusi Bersama, di rangkum oleh Rencansih
0 komentar:
Posting Komentar