Merek rokok yang beredar di pasaran selalu bertambah. Baik pabrik rokok yang punya nama sekelas Djarum, Gudang Garam, dan yang hanya menjual tembakau ada dipasaran. Berbagai citarasa ditawarkan, berbagai macam komposisi juga diuji coba untuk kemudian dibuat sebuah adonan rokok yang bermerek. Produk lama dan produk baru selalu bersaing, namun masih dalam kategori persaingan sehat. Para konsumerpun terbuai oleh persaingan dan membicarakan berbagai citarasa sesuai dengan opini dan cita rasa masing-masing individu. Penawaran tembakau murnipun jauh tertinggal.
Inti semua rokok adalah tembakau yang menghasilkan zat nikotin. Terserah nantinya mau dijadikan dibuat untuk menginang atau dibuat rokok terserah orang yang menggunakan. Namun inti rokok inipun telah terlupakan oleh mayoritas penikmat tembakau. Perokok sudah terbuai oleh berbagai adonan, berbagai merek dan berbagai produk yang ada di pasaran.
Analogi ini sangat cocok digunakan untuk membahas judul artikel kali ini. Orang Jawa yang realitasnya sudah tidak njawani lagi. Orang Jawa yang sudah lupa bahwa dia Jawa, atau lupa bahwa dia membawa genetik Jawa. Meskipun dibungkus dengan berbagai peradaban yang datang dari manapun, genetik tersebut tetap ada, sebagai zat nikotin yang selalu menemani setiap produk rokok yang beraneka macam modelnya. Lupanya penikmat rokok karena terbuai oleh adonan, oleh bungkus oleh merek, namun sebenarnya zat nikotin itu masih ada, cuma terlupakan. Orang Jawa itu masih ada, situasi telah menina bobokan kejawaan mereka, dan pastinya sekali waktu akan terbangun dan sadar. Entah sadar untuk kurun waktu tertentu atau untuk selamanya.
Orang Jawa
Banyak orang (terutama orang jawa) yang sudah paham apa itu arti dari Orang Jawa. Garis besarnya adalah orang yang sudah memahami atau orang yang njawani, memahami makna hidup. Hidup disini meliputi alam kosmos dan mikro kosmos. Sangat luas pemahamanya, sehingga membuat buta, karena kebesaran tersebut. Secara luas juga bisa diterjemahkan bahwa Orang Jawa itu tidak hanya orang-orang yang asli keturunan orang jawa, namun siapa saja yang paham akan kehidupan kosmos dan mikro kosmos dia bisa disebut orang jawa. Dengan kata lain kata jawa disini adalah sebuah kesadaran atau tingkatan capaian. Maka bisa diperuntukkan untuk orang mana saja, baik yang asli orang jawa atau bukan orang jawa.
Tingkatan capaian ini tentunya adalah sebuah proses (bisa panjang bisa pendek) pencarian. Pencarian akan tersebut melahirkan sebuah pemahaman dan ketika orang sudah paham ini berarti orang yang sudah capai pada capaian sebagai orang Jawa (njawani). Lalu apa tolok ukurnya? Bagi masyarakat Jawa punya sebuah kata mutiara yaitu "jalma limpat seprapat tamat" (orang yang cerdas mengetahui informasi baru seperempat saja sudah bisa memahami). Membaca buku mungkin cukup membaca bagian kesimpulan saja, atau kata pengantar saja, dan sudah bisa menelaah isi dari buku tersebut. Ada lagi istilah "adu semu" yang artinya baru melihat gerakan sudah paham maksud dari yang mengajak komunikasi. Istilah-istilah tersebut merupakan salah satu tolok ukur pencapaian.
Orang jawa yang mencapai kejawaanya dapat dilihat dari karakter orang tersebut, diantaranya adalah tidak mudah tersinggung, tidak merasa takut menghadapi realitas, tidak mudah di adu domba, tidak mudah terhasut, tidak panik, dan masih banyak lagi. Ketenangan jiwanya yang sudah manjing menjadi Jawa akan memancar keluar menjadi sebuah perilaku, yang berimbas kelingkungannya. Orang-orang akan merasa nyaman, damai, tenang, tidak gugup, merasa dianggap sebagai manusia atau dimanusiakan. Orang Jawa selalu berhati-hati menelaah sebuah peristiwa, utamanya adalah masalah sesama manusia. "Mulur mungkret" menjadi senjata untuk menghadapi situasi, sehingga tidak mudah goyah dan mudah patah. Bagi yang njawani akan memahami bahwa sebuah kejujuranpun kadang bisa dianggap tidak jujur.
Orang Jawa juga tegas dalam mengambil sikap. Setelah dipertimbangkan secara masak, dan menemukan sebuah langkah, maka langkah itu akan diambil sebagai sikap dan diloyalitaskan dalam perbuatan. Maka ada istilah "yen iya ya iya yen ora ya ora" atau paribahasa "yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani". Sikap ini adalah sebuah idealis individu, dan tiap individu diberi kebebasan untuk mengambil sikap. Jika idealis bersebrangan tidak serta merta menjadi musuh, namun menjadi sebuah kawruh yang diamini bersama-sama. Maka peribahasa "ngenaki tyasing sasama"pun diaplikasikan dalam kehidupan. Banyak sekali contoh-contoh atau suri tauladan mengenai hal ini sudah banyak dilakukan oleh orang-orang sebelum kita, dan itu merupakan salah satu warisan yang sangat berharga. Misalkan tokoh sekelas Sosrokartono, patut dijadikan contoh, dengan berbagai ajaranya, "nglurug tanpa bala", "menang tan ngasorake", "sugih tanpa banda" dan masih banyak lagi.
Realitas Jaman Sekarang
Tidak perlu saya jelaskan dengan detail tentang realitas ini, toh kita semua yang mengaku orang Jawa sudah mampu menganalisa. Apakah kita sudah dianggap sebagai manusia seutuhnya oleh lingkungan kita? Apakah kita mendapatkan rasa kenyamanan atau ketenangan? Ataukah kita sering merasa gugup, mudah dihasut atau mudah mencerna informasi tanpa banyak pertimbangan? Sudahkah kita menerima pendapat orang lain, meskipun pendapat itu bersebrangan? Sudahkah kita mengambil sikap yang tegas untuk dijadikan jatidiri sebagai individu? Mari jawab dengan kejujuran hati kita, supaya kita bisa menemukan solusi untuk masing-masing individu yang nantinya berguna bagi lingkungan sekitar. Bersikap tegas, berani resiko, tidak gugup, tidak takut dianggap berbeda dan berani mempertanggungjawabkan.
Ilustrasi gambar di ambil dari Google dengan kata kunci Orang Jawa dan Sosrokartono.
"Jalma limpad saprapat tamat", mungkin orang yg mudah bisa memahami amat banyak (atau keseluruhannya) meskipun hanya mendapat keterangan yg sedikit saja.
BalasHapusMungkin hanya mendapatkan keterangan 25%, atau kurang dari itu, tapi bisa mengerti 100%, atau lebih. 🙂