Arsitektur Kasultanan Yogyakarta dan Maknanya



Pernah main ke Jogja? Pernah bersambang ke Keraton Jogja? Pernah berkunjung ke pantai selatan? Pernah bermalam di Kaliurang? Kalau sudah pernah semuanya, pernahkah berfikir tentang arsitektur kraton Jogja, dari Gunung Merapi hingga Pantai Selatan? Iya itu adalah sebuah arsitektur yang bagi saya adalah luar biasa, dan bisa dijadikan acuan untuk membuat sebuah bangunan di era sekarang. entah untuk sebuah perumahan, atau sebuah komplek letak sebuah kabupaten dan lain sebagainya.

Jogja bukanlah sebuah kota semata, tapi ia adalah kota yang penuh makna. Kita bisa mendapati makna tersembunyi, filosofis, dari berbagai hal di Jogja. Mulai dari baju, pohon yang ditanam di pinggir jalan, bangunan keraton hingga tata ruangnya.

Jogja; adalah kota yang penuh makna.


Makna filosofis yang berlandaskan pada kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Dari aspek personal hingga kolektif ada maknanya. Misalnya saja soal pakaian. Bagi masyarakat Jawa umumnya, dan Jogja khususunya, pakaian bukan semata soal penutup badan. Bukan hanya soal bagus. Bukan semata soal fashion, tapi pakaian juga punya makna filosofis.

Seperti kata pepatah itu, "Aji Ning Rogo Soko Busono lan Aji Ning Ati Soko Lathi.”

Nah, yang menarik. Urusan filosofis ini ternyata juga ada dalam tata ruang.

Saya kutip dari berbagai sumber, bahwa ada makna filosofis kraton yang berdiri di tengah-tengah bentangan dua sungai melambangkan sifat normatif seorang manusia. Ditarik dari panggung Krapyak di sebelah selatan hingga sampai Tugu di sebelah utara Keraton punya makna yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.


Krapyak adalah gambaran tempat asal roh-roh. Di sebelah utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari kata wiji (benih), jalan lurus ke utara, di kanan kini dihiasi pohon Asem dan Tanjung, menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, wajahnya nengsemaken serta di sanjung-sanjung selalu.

Plengkung Nirbaya (Gading). Plengkung ini menggambarkan periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pra puber. Dimana sifatnya masih nengsemaken (pohon Asem) dan juga suka menghias diri (nata sinom). 

Alun-alun selatan. Disini terdapat 2 pohon beringin yang disebut Wok. Disekitar alun-alun ini terdapat 5 buah jalan yang bersatu sama lain menunjukkan panca indera, tanah berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lain. Apa yang ditangkap belum tersatur oleh panca indera. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan pakel artinya sang anak sudah wani (berani karena sudah akil balig). 

Siti hinggil, arti arfiah tanah yang ditinggikan. Disini terdapat sebuah tratag atau tempat istirahat beratap anyaman bambu kanan kirinya tumbuh pohon Gayam dengan daun-daunnya yang rindang serta bunga-bunganya harum wangi. Siapa saja yang berteduh dibawah tratag ini akan merasa aman, tenteram senang dan bahagia. Menggambarkan rasa laki2 dan perempuan yang sedang dirindu asmara.

Halaman kemandungan, menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu. Regol Gadung Mlati sampai kemagangan merupakan jalan yang sempit kemudian melebar dan tersang benderang. Suatu gambaran Anatomis kelahiran sang bayi. Disini bayi kemudian magang (kemagangan) menjadi calon manusia dalam arti sesungguhnya.

Bangsal Manguntur Tangkil, sebuah bangsal kecil yang terletak di tratag Sitihinggil. Jadi sebuah bangsal di dalam bangsal yang mempunyai arti bahwa didalam tubuh kita (wadag) terdapat roh/ jiwa. Manguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi untuk anangkil, yaitu menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa dengan mengheningkan cipta atau bersemedi.

Tarub Hagung, merupakan bangunan yang mempunyai 4 tiang tinggi dari pilar besi yang mempunyai bentuk empat persegi. Arti bangunan ini ialah: siapa yang gemar samadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berada selalu dalam keagungan.

Pagelaran, yang bersasal dari kata pagel = Pagol = Pager = batas dan aran=nama. Dimana habislah perbedaan manusia, baik laki-laki atau perempuan , terutama dihadapan Tuhan. Alun-alun utara (lor) menggambarkan suasanan “nglangut” atau sepi, suasana hati dalam semedi. Pohon beringin ditengah alun2 menggambarkan suasana seakan2 kita terpisah dari diri kita sendiri. Mikrokosmos bersatu dalam Makrokosmos. Simpang empat disebelah utara menunjukkan godaan dalam samadi. Apaka kita memilih jalan lurus (Siratal Mustaqim) atau jalan menyimpang ke kanan-kiri.

Pasar Beringharjo, pusat godaan setelah kita mengambil jalan lurus berupa godaan akan wanita cantik, makanan yang lezat serta barang-barang mewah. Kepatihan, lambang godaan akan kedudukan atau kepangkata. Sampailah kita pada Tugu/pal putih, simbol dari bersatunya hamba dan Tuhan. Dekat dengan Tuhan Sang Maha Pencipta. Sebenarnya masih banyak yang bisa digali. Tata ruang penuh filosofi tak berhenti pada keraton semata, namun juga pada pola ruang kampung-kampung prajurit Kraton dan tata ruang dalam kawasan Jeron Beteng. Ada juga filosofi bangunan rumah joglo, pohon-pohon yang ditanam pada jalur tertentu, atau bangunan lainnya. Mungkin di lain kesempatan kita bisa membahasnya lebih lanjut. 

Nah, melalui perda keistimewaan pemerintah harus merevitalisasi kembali tata kota Jogja. Yang tak hanya harus menghidupkan kembali warisasn sejarah, tapi juga mesti mengembalikan karakter khasnya sebagai kota budaya yang nyaman. Masih banyak tata ruang yang bisa dikeksplorasi lebih lanjut. Jogja; kota ini penuh makna. Jalan-jalannya, pohon-pohon yang tumbuh, bangunan-bangunannya, dan budayanya.
Jogja adalah kota penuh makna, karena itu ia istimewa. Maka sudah selayaknya kita menjaga dan merevitalisasi kembali nilai-nilai itu. Pembangunan yang berbasis pada nilai budaya. Dengan perda istimewa, hal itu sangat mungkin diwujudkan. 

Di ambil dari artikel yang terdapat pada halaman Informasi Dunia Jawa di Facebook. Judul aslinya adalah JOGJA; KOTA YANG PENUH MAKNA, Tulisan Saudara Zuhrif Hudaya. 

Foto diambil dari Google dengan kata kunci Keraton Yogyakarta.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk Gabung

Total Pengunjung

Penunjung